SATELITPOST – Meskipun relokasi pasar tiban sudah dibatalkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Pekalongan, kasus kekerasan pada tragedi 18 Mei kemarin tetap akan diusut. Pada tragedi tersebut terdapat delapan korban luka-luka di pihak pedagang dan mahasiswa akibat dipukuli oleh sejumlah preman dan petugas Satpol PP Kota Pekalongan.
Pada peristiwa itu, Polresta Pekalongan menangkap 17 preman. Para preman tersebut, turut serta dalam barisan Satpol PP Kota Pekalongan mengusir para pedagang yang hendak berjualan serta para mahasiswa yang melakukan demonstrasi menolak relokasi pasar tiban.
Seorang anggota Polresta Pekalongan, menjadi korban pemukulan para preman. Korban lainnya adalah dua orang pedagang dan seorang mahasiswa, ketiganya sempat dilarikan ke RSUD Kraton. Seorang mahasiswa mengaku, dipukuli dan masukan kedalam mobil Satpol PP. Setelah masuk mobil Satpol PP, mahasiswa tersebut diinjak-injak, dipukuli kembali. Lalu dibuang begitu saja di GOR Jatayu Kota Pekalongan.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Pekalongan, I Gede Gunawan Wibisana, menyatakan tetap akan serius mengusut kasus kekerasan pada tragedi 18 Mei itu. Menurutnya, tragedi itu disasksikan langsung oleh masyarakat dan masyarakat pastinya menanti kepastian hukum. “Penegakan hukum pada peristiwa tersebut juga akan meminimalisir korban hati, “ kata dia, Jumat (23/5) di Ruang Kalijaga Pemkot Pekalongan.
Bagi Kajari, penegakan hukum sifatnya lebih dari sekedar profesionalisme sehingga ia meminta berbagai pihak untuk turut bekerjasama menegakkan hukum terkait tragedi 18 Mei. “Hal-hal yang sudah terjadi harus ditindaklanjuti. Terkait permasalahan sebelumnya, semua pihak harus bisa menyikapi dan mencermati. Sebab ada delik aduan atau delik murni,” kata I Gede Gunawan Wibisana.
Hal serupa juga dikatakan oleh Kapolresta Pekalongan, AKBP Rifki. “Yang terjadi kemarin ada delik murni,” kata dia. Sehingga, pada delik tersebut, Polresta Pekalongan tidak memerlukan pengaduan, serta diwajibkan untuk mengusut tuntas kasus kekerasan tersebut.
“Tidak hanya para preman yang terlibat, Satpol PP juga akan kita periksa. Siapapun, semua pihak yang terlibat tentunya. Proses hukum tetap berjalan. Tidak ada pertimbangan hukum yang bisa menghentikan proses itu, “ kata AKBP Rifki.
Menurut Kapolresta Pekalongan, jumlah tersangka pada tregadi 18 Mei hingga kemarin, masih lima orang. “Sementara lima orang yang sudah ditetapkan tersangka. Selanjutnya akan kita selidiki, sebab kasus ini harus tuntas, “ kata dia.
Pada pertemuan sebelumnya, ia juga tidak ragu untuk melakukan operasi pemberantasan preman. “Ini momentum tepat untuk melakukan operasi pemberantasan preman yang sudah sangat meresahkan masyarakat,” kata dia.
Menurut Rifki, jika langkah ‘perang’ terhadap premanisme tidak segera dilakukan, dikhawatirkan situasi kondusif di Kota Pekalongan akan terganggu. Kota Pekalongan bahkan dikhawatirkan akan jadi ‘kota preman’.
“Saya tidak mau Kota Pekalongan ini jadi sarang preman. Kalau dibiarkan berlarut, akan jadi seperti Jakarta, jadi sarangnya preman yang mengintimidasi, menakut-nakuti, dan meresahkan masyarakat, ” kata ABP Rifki.
Berdasarkan pengamatan dia, insiden bentrok dalam relokasi pedagang pasar tiban di Kota Pekalongan, sudah melibatkan sejumlah preman yang digerakkan oleh pihak tertentu.
Maka dari itu, kata Rifki, Polresta akan mengusut tuntas siapa aktor yang menggerakkan sejumlah preman tersebut. “Polres masih mendalami siapa aktor intelektual di balik para preman yang terlibat pelanggaran hukum dalam peristiwa itu,” kata dia.
Seperti diberitakan sebelumnya, Aliansi Mahasiswa Kota Pekalongan juga tetap melanjutkan pengaduan tindak kekerasan oleh Satpol PP. Mereka menolak jalan damai dengan Pemkot Pekalongan. “Waktu penyusunan draf perjanjian kita diminta damai dan tidak melanjutkan proses pengaduan kekerasan terhadap mahasiswa yang dilakukan oleh Satpol PP pada tregadi 18 Mei keamrin. Alasannya persoalan relokasi juga sudah menemukan titik temu, ” kata Miqdam Yusria, perwakilan Aliansi Mahasiswa Kota Pekalongan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia(PMII) cabang Pekalongan.
“Ini kan kasus kekerasan, tindakan represif terhadap pihak yang mengkritisi pemerintah. Jadi saya hapus tawaran itu waktu kita menyusun bersama, ” kata dia. Menurutnya, ia memiliki bukti kuat adanya aparatur pemerintah yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa saat aksi menolak relokasi pasar tiban. (Aulia El Hakim)