BUAT KENDI – Wahyuti (74), seorang perajin gerabah, tengah membuat kendi di tempat produksinya di Desa Wonorejo Kecamatan Wonoppringgo Kabupaten Pekalongan, kemarin.
MUHAMMAD HADIYAN / RADAR PEKALONGAN
Dahulu, hampir semua warga Desa Wonorejo Kecamatan Wonopringgo Kabupaten Pekalongan menggeluti kerajinan gerabah. Namun sekarang, jumlah perajin di desa yang sempat terkenal dengan sentra produksi gerabah terbesar di Jateng itu tinggal 60 orang. Seperti apa?
Muhammad Hadiyan, Wonopringgo
PRODUKSI gerabah di Desa Wonorejo Kecamatan Wonoppringgo Kabupaten Pekalongan semakin memprihatinkan. Sangat sedikit generasi muda yang mau meneruskan kerajinan ini, membuat keberadaan gerabah nyaris punah. Padahal, Kabupaten Pekalongan pernah dikenal sebagai sentra gerabah terbesar di Jawa Tengah. Bahkan, berkat kerajinan berbahan dasar tanah liat inilah, Desa Wonorejo menjadi terkenal dan sering menjadi rujukan warga daerah lain untuk menimba ilmu maupun membeli gerabah.
Dahulu, penduduk di kampung tersebut hampir seluruhnya merupakan perajin dan memiliki keterampilan membuat gerabah. Gerabah yang diproduksi pun bermacam-macam. Mulai dari pembuat teko, cobek tanah, kendi, mangkuk, yang semuanya terbuat dari bahan tanah liat. Tapi sayang, sentra produksi gerabah di Kota Santri itu saat ini hanya menyisakan 60 perajin saja. Itu pun merupakan para perajin lama yang masih bertahan, dan mayoritas berusia lanjut.
Salah seorang perajin gerabah yang hingga kini masih bertahan, Wahyuti (74) mengatakan, kerajinan gerabah yang pernah mengharumkan kampungnya itu kini kehilangan generasi penerus. Salah satu faktor krisisnya regenerasi pada usaha gerabah ini karena dianggap tidak menjanjikan. Kini, kawasan yang dulunya tersohor sebagai kampung perajin gerabah itu, hanya menyisakan puing kenangan.
“Anak-anak muda sekarang tidak ada yang mau meneruskan usaha. Mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik atau konfeksi. Apalagi, saat ini pertumbuhan industri di Kabupaten Pekalongan cukup pesat,” ujar nenek yang mengaku sudah menekuni kerajinan gerabah sejak usia sepuluh tahun itu.
Ia mengaku, usaha yang dilakoninya merupakan warisan dari nenek moyangnya secara turun temurun. Tapi, karena tidak ada lagi generasi setelah dirinya, usaha kerajinan itu terancam punah.
“Kalau jaman dulu, sekitar ribuan warga di kampung ini menekuni usaha ini. Karena dulu kerajinan gerabah dianggap sebagai usaha yang mudah dan menghasilkan. Namun sekarang, tinggal 60 orang saja yang masih bertahan,” imbuh dia.
Menurutnya Wahyuti, generasi muda sekarang tidak berminat pada kerajinan gerabah karena terdapat beberapa alasan. Mulai dari gengsi, serta menganggap jika usaha tersebut tidak menjanjikan.
“Selain itu, alasan lain mereka karena proses pembuatannya masih dikerjakan secara manual,” jelas dia.
Padahal, Wahyuti mengatakan, jika dikelola dengan manajemen baik, usaha ini cukup menjanjikan. Ia mencontohkan, membuat sebuah gerabah yang paling gampang, misal kendi. Dalam pembuatannya, hanya membutuhkan waktu lima menit saja.
“Jika sudah jadi, satu buah Kendi bisa dijual dengan harga Rp 2 ribu hingga Rp 3 ribu. Belum lagi, setidaknya dalam sehari bisa berproduksi sebanyak 50 buah, dengan modal bahan baku hanya Rp 6 ribu per karung,” terang dia.
Memang, tidak dapat dipungkiri pembuat kerajinan ini butuh ketelitian. Mulai dari membuat adonan, membentuk pola, hingga masuk proses oven, harus dikerjakan secara teliti.
Seperti yang dikataka Wahyuti, dalam pembuatan kerajinan ini terdapat banyak kendala yang harus dihadapi para perajin. Mulai dari minimnya modal, proses pembuatan yang cukup menguras kesabaran, hingga minimnya perhatian pemerintah terhadap usaha yang digeluti warga Desa Wonorejo Kecamatan Wonoppringgo tersebut.
“Maka, wajar jika saat ini di kampung kami nyaris kehilangan generasi penerus,” keluhnya. (*)
(Penulis :MUHAMMAD HADIYAN & Redaktur : Widodo Lukito)
No views yet