PENGARAKAN – Suasana jelang pengarakan ogoh-ogoh di Pura Kalingga Satya Dharma Dukuh Linggo Desa Linggoasri Kecamatan Kajen, Minggu malam.
MUHAMMAD HADIYAN / RADAR PEKALONGAN
Keindahan toleransi beragama tampak dalam perayaan nyepi di Dukuh Linggo Desa Linggoasri. Disana, masyarakat non-Hindu sangat menghormati warga yang tengah merayakan hari besar tersebut. Seperti apa?
Hadiyan, Kajen
HARI mulai gelap. Hembusan mesra angin membuat daun-daun kering jatuh dari tangkainya. Lantunan puji-pujian terdengar dari luar Pura Kalingga Satya Dharma Dukuh Linggo Desa Linggoasri Kecamatan Kajen Kabupaten Pekalongan, Minggu (30/3). Disana ratusan umat Hindu setempat tengah melakukan Upacara Tawur Kesanga.
Keheningan berlalu setelah umat Hindu keluar dari dalam Pura untuk mengelilingi kampung sembari mengarak ogoh-ogoh. Suara kentongan dan puluhan cahaya obor mengiringi pengarakan ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh yang merupakan representasi dari angkara murka itu ditandu oleh 4 orang, menyusuri jalan kampung di Dukuh Linggo.
Pemandangan itu juga turut dinikmati beberapa warga yang melintas, termasuk umat non-Hindu setempat yang sengaja berada di teras rumah mereka untuk turut menyaksikan ogoh-ogoh melintasi mereka. Seperti yang dilakukan Suwono, warga muslim setempat. Ia mengatakan, anaknya ingin melihat prosesi arak-arakan ogoh-ogoh yang dijadikan simbol Buta Kala tersebut.
Linggo memang terkenal sebagai daerah dengan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai toleransi. Perbedaan keyakinan, sama sekali tidak menimbulkan gesekan sosial di antara mereka. Bahkan yang terjadi, justru rasa kebersamaan dalam berbagai perbedaan.
Seperti yang diungkapkan salah seorang umat Hindu di Linggo, Mustono. Meski masyarakat hidup di tengah perbedaan keyakinan, namun menurutnya, toleransi beragama cukup kuat di Dukuh Linggo Desa Linggoasri. “Sejak dulu, toleransi beragama cukup kuat di masyarakat ini. Mereka saling menghargai antar pemeluk agama lain. Seperti pada saat Hari Raya Nyepi, rata-rata masyarakat non-Hindu di wilayah sini ikut mematikan listrik sebagai wujud menghormati kami yang tengah merayakan Nyepi,” jelasnya.
“Tingginya rasa toleran terhadap sesama inilah, yang membuat situasi disini damai dan rukun. Jadi antar masyarakat di dukuh ini tak pernah ada gesekan,” ungkapnya.
Hal sama juga diungkapkan Permana Aditya. Prem, sapaan akrabnya mengatakan, masyarakat di Dukuh Linggo sudah terbiasa hidup di dalam perbedaan. Bahkan, ada dalam satu keluarga, memiliki perbedaan keyakinan antar anggota keluarga. “Beberapa keluarga juga ada yang ayahnya, ibunya maupun anaknya memiliki keyakinan agama berbeda-beda. Akan tetapi mereka saling menghormati,” paparnya.
“Saat menjelang perayaan nyepi. Beberapa umat non-Hindu juga ada yang ikut kerjabakti membersihkan pura,” pungkasnya. (*)
(Penulis :MUHAMMAD HADIYAN & Redaktur : Widodo Lukito)